Fotografi selalu identik dengan kebebasan berekspresi. Satu klik kamera bisa menangkap emosi, cerita, bahkan sejarah. Tapi di era digital—terutama sejak kehadiran kecerdasan buatan (AI)—batas antara kreativitas dan pelanggaran privasi menjadi semakin tipis.
Baru-baru ini, ramai kasus di mana foto seseorang diambil di ruang publik tanpa izin lalu dijual lewat aplikasi berbasis AI. Banyak yang menilai ini sekadar inovasi bisnis baru. Namun menurut Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), tindakan itu bisa berujung pada gugatan hukum jika melanggar hak privasi seseorang.
Antara Lensa dan Regulasi
Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP) menegaskan bahwa foto yang menampilkan wajah seseorang termasuk dalam kategori data pribadi. Artinya, penggunaan, penyimpanan, atau penyebaran foto tanpa persetujuan subjek bisa dianggap pelanggaran hukum.
Masalahnya, fotografi di ruang publik sering kali tidak bisa dipisahkan dari kehadiran orang lain. Seorang fotografer jalanan (street photographer) mungkin hanya ingin mengabadikan suasana kota, tapi bisa saja tanpa sadar merekam wajah orang yang tidak ingin difoto.
Di sisi lain, ada pula fotografer yang memanfaatkan teknologi AI untuk mengedit, menjual, atau bahkan memperbanyak foto hasil tangkapan mereka. Di sinilah dilema muncul — siapa yang sebenarnya berhak atas foto itu? Apakah fotografer sebagai pencipta, atau individu yang menjadi objek foto?
Perspektif Fotografer: Seni atau Risiko?
Dari sudut pandang fotografer, memotret di ruang publik adalah bagian dari seni. Mereka melihat momen, cahaya, dan ekspresi sebagai bahan cerita visual. Tapi kini, mereka juga dituntut untuk memahami batas etika dan hukum.
Beberapa fotografer profesional sudah mulai menerapkan langkah antisipatif seperti:
- Meminta izin secara langsung kepada subjek (baik lisan maupun tertulis).
- Menggunakan model release form untuk kebutuhan komersial.
- Menghindari unggahan foto yang menampilkan wajah individu tanpa konteks atau izin.
- Menyertakan keterangan “foto diambil dengan izin subjek” di karya publik.
Bagi fotografer hobi, kesadaran ini belum selalu ada. Banyak yang belum tahu bahwa tindakan sederhana seperti mengunggah foto orang asing di media sosial pun bisa dianggap pelanggaran jika orang tersebut keberatan.
AI dan Masa Depan Fotografi
Teknologi AI mempercepat revolusi di dunia fotografi: dari auto enhancement, generative fill, hingga AI portrait creator. Namun di balik kemudahan ini, ada kekhawatiran besar tentang penyalahgunaan data wajah, manipulasi citra, dan penyebaran konten tanpa izin.
Pertanyaannya: apakah kita sedang menuju masa depan fotografi yang lebih kreatif, atau justru lebih diawasi?
Menemukan Titik Tengah
Kreativitas dan privasi seharusnya tidak saling meniadakan. Fotografi bisa tetap bebas, asal diiringi dengan tanggung jawab. Hukum tidak dibuat untuk membatasi seni, melainkan melindungi hak individu di tengah derasnya arus digital.
Barangkali ini saatnya fotografer, pelaku industri kreatif, dan penikmat seni duduk bersama membahas:
Bagaimana kita bisa tetap berkarya tanpa melanggar hak orang lain?
Di era AI, apa arti “foto milik saya” sebenarnya?
💬 Bagaimana pendapatmu?
Apakah regulasi ini akan membatasi kreativitas fotografer, atau justru membuat dunia fotografi lebih etis dan profesional?
Tuliskan pandanganmu — mari kita bahas bersama.
 
			 
						





